Malaikat Cantik
Angin lembut yang
berhembus memberikan udara yang segar di pagi ini. Hawa dingin yang menyentuh kulit
dan aroma embun pagi sisa hujan semalam menambah kesejukkan saat menghirup
udara di balik helm yang kukenakan. Kupercepat laju kendaraan untuk menyusul
sebuah bus di depan yang juga menuju perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu.
Setelah berhasil mengejar bus tersebut sampai pada akhirnya posisi motorku
berada di sebelah kiri bus, aku memperlambat laju kendaraan sampai ke dalam keadaan
normal. Aku membuka kaca helm yang dikenakan, dan melihat ke dalam bus
mencari-cari sesuatu sambil terus fokus pada jalan. Ya, sesuatu itu ada disana.
Masih seperti hari-hari biasa yang kulihat dengan cara seperti ini. Wajah halusnya
yang putih terlihat merona dengan rambut panjangnya yang hitam terurai.
Kesederhanaan penampilannya membuatnya terlihat semakin cantik. Mata indahnya
yang berwarna coklat terlihat teduh dan ramah seketika menyapa seseorang yang
ia kenal di dalam bus. Bibirnya merekah dalam canda dengan senyumnya yang manis
di sela-sela percakapan dengan orang tersebut. Mata coklat itu beralih dan
mulai menatap keluar jendela bus sampai pada akhirnya menatapku, namun sebelum
itu terjadi aku segera menutup kaca helm dan mempercepat laju kendaraan
meninggalkan bus.
Dia adalah Tiara,
wanita yang sejak lama aku kagumi saat pertama kali bertemu dengannya dengan
cara yang sama saat aku melihatnya di dalam bus tadi. Saat itu adalah hari pertama aku berada di tingkat 1 saat menuju
perguruan tinggi. Dibalik helm yang aku kenakan, aku melihat sosok tersebut dan
memulai aktivitasku mengejar bus pada waktu yang sama hanya untuk melihatnya
saat aku pun tahu bahwa ia kuliah di perguruan tinggi yang sama denganku. Saat
kenaikan tingkat, aku baru tahu bahwa aku sekelas dengannya di tingkat 2, saat
itu aku terkejut melihatnya ada di kelas yang sama denganku, namun sampai pada
akhirnya aku berada di tingkat 3 ini, belum juga aku bisa memberanikan diri
menyapanya sendiri saat berhadapan dengannya, apalagi mengobrol dengannya.
Kebetulan, sekelompok dalam mata kuliah pun aku tidak pernah, sehingga tidak
ada bahan obrolan yang masuk akal saat bersamanya. Aku bisa dekat dengan
teman-teman sekelas yang lain, bisa menjadi sahabat mereka, tapi mengapa tidak
bisa untuk Tiara? Aku merasa, di hadapan wanita yang satu ini, aku benar-benar
menjadi laki-laki yang payah dan membuatku tidak berkutik. Hanya dia. Padahal
sebenarnya, bukan untuk menyombongkan diri, segala yang aku punya cukup
mendukungku mempunyai kepercayaan diri untuk mendekati wanita, otak yang
cerdas, prestasi di kampus, wajah yang lumayan, motorku yang mewah, selama ini
banyak wanita yang mencoba mendekatiku, tapi hanya dia yang tidak dapat aku
dekati. Sejak mengenalnya, membuatku masih sendiri sampai saat ini.
***
Hari ini ujian tengah
semester, semua mahasiswa datang lebih awal dan terlihat sibuk dengan aktivitas
belajar sebelum pengawas ujian masuk ke ruang kelas yang menandakan UTS akan
dimulai.
“Pagi Dion.” sapa Dina,
temanku di kelas lain yang ruang ujiannya berdekatan saat aku menuju kelas.
Sesekali terlihat teman-temannya di sebelahnya manatapku dan terlihat berbisik
sambil tersenyum ke arahku. Ada salah satu temannya yang menanyakan namaku pada
Dina sambil berbisik di telinganya. Namun bisikannya jelas terdengar sampai ke
telingaku.
“Hai Din..” aku
menyahut dan menuju kelas sambil mengelap keringat dengan sapu tangan dan
langsung membuangnya di tempat sampah yang berada di luar kelas sebelum masuk
ke kelas. Tidak lama aku masuk, Tiara datang bersama dengan Lisa yang juga
teman sekelasku. Namun terlihat Tiara kembali keluar kelas.
“Hei.. !! Pagi-pagi
sudah melamun. Sudah belajar belum?” tanya Rasta mengagetkanku.
“Ah elu ngagetin gue
aja. Ia sudah.” kataku.
Tidak lama kemudian pengawas
masuk kelas dengan membawa kertas ujian. Tidak banyak basa basi, pengawas
langsung membagikan kertas ujian dan meminta mahasiswa untuk menunjukkan KRS
serta meletakkan tas mereka di depan kelas. Terlihat Lisa memanggil Tiara dan
Tiara memberikan sebuah pulpen kepada Lisa sambil tersenyum. Tanpa sengaja aku
pun tersenyum melihat senyuman itu. Namun tiba-tiba senyuman itu berubah
menjadi raut kebingungan dari wajahnya. Dia tidak menulis apapun pada lembar
jawaban di atas mejanya sambil melihat-lihat sekeliling. Apa yang dia lakukan?
Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil pulpen yang memang sejak tadi aku
buat untuk menulis dan menuju kearah Tiara, dengan sengaja aku menjatuhkan
pulpen yang tadi kupegang di dekatnya, lalu terus menuju ke depan kelas mencari
dimana letak tasku dan mengambil pulpen di dalam tas. Aku langsung menuju
tempat duduk dan mulai mengerjakan soal ujian di atas meja tanpa berani melihat
kearah Tiara, namun aku pastikan ia sudah menggunakan pulpenku untuk menulis.
Sambil mengerjakan soal, aku tersenyum. Bukan karena soal ujiannya yang mudah
untuk aku jawab, tapi karena sosok Tiara yang begitu baik untuk meminjamkan
pulpennya kepada orang lain padahal ia hanya punya satu pulpen yang akan ia
gunakan. Dari hal-hal kecil yang begitu sering seperti ini, menambah
kekagumanku terhadapnya. Dapat dibayangkan begitu hangatnya keluarga yang
dimilikinya dan beruntungnya kedua orangtuanya melahirkan malaikat cantik
sepertinya.
***
Hari
kedua Ujian Tengah Semester berlangsung tanpa Tiara. Saat ujian baru dimulai
tadi, ia terlihat tergesa-gesa beranjak dari tempat duduknya dan menuju
pengawas berbicara sesuatu, lalu pergi meninggalkan kelas. Apa yang terjadi
dengannya hingga membuatnya meninggalkan UTS yang begitu penting? Karena rasa
penasaran, aku pun menuju pengawas dan bertanya. Pengawas berkata bahwa Tiara
menuju rumah sakit karena ada kepentingan, kebetulan Tiara menyebutkan nama
rumah sakitnya kepada pengawas, lalu segera aku menuju parkiran mengambil motor
dan langsung menuju rumah sakit yang diberitahukan pengawas tadi. Ada rasa
khawatir dan banyak pertanyaan dalam benakku, namun aku tidak menghiraukannya
dan memilih untuk segera menuju rumah sakit.
***
Saat
sampai di rumah sakit, aku sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan, rasa
kepedulianku membuatku sampai disini tanpa tahu untuk apa aku disini, siapa
yang dirawat, lantai berapa, ruang kamar berapa.. Namun saat aku berpikir, aku
melihat sosok Tiara memegang plastik yang berisi obat menuju suatu kamar. Aku
mengikutinya, tentunya tanpa ia tahu. Aku mengintip ke dalam, melihat ia
meminumkan obat kepada anak kecil. Ada perasaan lega saat aku sudah mengetahui
tujuan Tiara ke rumah sakit karena adiknya dirawat. Saat aku ingin membalikkan
badan, aku hampir saja menabrak wanita paruh baya yang ingin menuju kamar
tempat dimana adik Tiara dirawat.
“Tidak
masuk dek? Kamu temannya Mutiara?” kata wanita paruh baya itu kepadaku.
“Hmm..
Ti.. Tidak Bu..” seketika aku bingung ingin menjawab apa, “Saya.. saya hanya
ingin tahu Bu, adiknya Tiara sakit apa ya? Maaf, Ibu, Ibunya Tiara ya?” tanyaku
gugup.
“Ohh
kamu teman kampusnya Tiara ya?” tanyanya. Aku pun mengangguk dan ia melanjutkan
ucapannya. “Saya bukan Ibunya, dan anak kecil itu bukan adiknya.”
Aku
semakin bingung, lalu siapa anak kecil yang dirawat itu hingga membuat Tiara
meninggalkan ujian sepenting UTS?
“Saya
walinya. Dan anak kecil itu anak didik saya di panti asuhan. Tiara sudah
menganggap semua anak-anak di panti asuhan seperti saudara kandungnya sendiri
karena ia pun tinggal disana.” kata wanita paruh baya itu.
Aku pun terkejut mendengar penjelasan wanita
itu. Tiara tinggal di panti asuhan? Sejak kapan? Wanita paruh baya itu pun
melanjutkan ceritanya.
“Tiara
sudah tidak mempunyai kedua orangtua, kedua orangtuanya meninggal sejak kecil,
dan saya sebagai teman dekat kedua orangtuanya memutuskan untuk tinggal bersamanya,
menjaga dan merawatnya di rumah saya yang juga merupakan tempat anak-anak didik
saya di panti asuhan.”
Aku seketika terkejut mendengar penjelasan dari
wanita paruh baya itu yang ternyata
adalah wali dari Tiara. Hal sepenting
ini tentang Tiara tidak pernah aku ketahui. Aku hanya tenggelam dalam perasaan
yang membuatku tidak memahami seorang Tiara lebih dalam. Aku hanya menyenangkan
hatiku dengan melihat senyuman di bibirnya tanpa berpikir untuk menimbulkan
senyuman itu untuknya, aku hanya mendamaikan perasaanku dengan rasa bahagia
saat melihat tawanya tanpa berpikir untuk memberikan canda yang membuatnya
tertawa. Aku hanya mengaguminya tanpa memahaminya.
“Dek..
Kamu mau masuk? Ibu masuk dulu ya.” wanita itu berkata sambil menuju ke dalam
kamar. Aku hanya terdiam di tempat dan mulai melangkahkan kaki meninggalkan
rumah sakit dalam perasaan tak menentu.
***
Hari
ketiga UTS pun tidak ada Tiara, teman-teman mulai menanyakan keberadaannya. Aku
berpikir untuk segera menuju rumah sakit, untuk menanyakannya. Saat aku keluar
kelas, aku melihat wanita paruh baya yang bertemu denganku di rumah sakit itu
celingak celinguk mencari sesuatu. Aku segera menghampirinya. Benar saja ternyata
dia mencariku dan memberikan kabar bahwa Tiara mengalami kecelakaan ringan dan
sekarang di rawat di panti asuhannya.
Aku segera kesana bersama wanita itu. Dan sesampainya disana, benar saja Tiara
terbaring lemah di kamarnya dengan selang infuse menggantung di tangannya. Perasaanku
sedih melihatnya terbaring lemah, Tiara yang selalu semangat dan ceria, yang
biasanya aku melihatnya dari kejauhan, kini berada di dekatku, namun sayangnya
saat ini aku hanya bisa melihatnya terbaring lemah. Aku melihat ke sekeliling
kamar, tempat yang sejuk dan sederhana, namun penuh kehangatan. Aku merasa
nyaman berada disini, berada di dekat Tiara yang masih tertidur. Di sebelahnya
terdapat sebuah kotak, aku pernah melihatnya memasukkan sesuatu ke dalam kotak
itu saat ia berada di dalam bus. Aku mengambilnya, lalu membuka kotak tersebut
untuk memenuhi rasa keingintahuanku. Seketika aku terkejut melihat isi di
dalamnya, pulpenku yang sengaja aku jatuhkan di dekatnya saat ia membutuhkan
pulpen, ada disana, dan semua hal yang sengaja ingin aku berikan untuknya tanpa
sepengetahuannya, ada di dalam kotak itu. Satu hal yang paling membuatku
terkejut, sapu tangan yang selalu aku buang setelah aku memakainya, ada disana.
Sejak kapan Tiara menyimpan semua ini? Dan untuk apa Tiara menyimpan semua ini?
Lalu di dalam kotak tersebut juga terdapat selembar kertas yang dilipat-lipat
kecil yang ada di dalam botol, aku pun membuka botol mungil tersebut dan
membuka kertas yang terlipat-lipat itu, haru yang aku rasakan semakin dalam
saat aku membaca isi kertas tersebut.
“Aku
tidak bisa mendapatkan cinta seorang Ibu kepada anaknya, atau seorang ayah
kepada anaknya, tapi aku merasakan kasih sayang saat aku bersama ‘mereka’
disini. Aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dari kedua orangtuaku,
tapi aku dapat merasakan kebahagiaan kedua orangtuaku ‘disana’, dan itu cukup
membuatku mendapatkan apa yang aku inginkan. Tetapi, aku mendapatkan suatu
pelengkap kebahagiaan dalam hidupku saat aku mendapatkan apa yang aku butuhkan
darinya…
Terima
kasih.. Dion.. “
Saat itu pula aku tak sadar telah
menggenggam tangannya dan melihatnya menatapku dengan……. Senyuman.