Kamis, 27 September 2012

Cerpen


Malaikat Cantik

Angin lembut yang berhembus memberikan udara yang segar di pagi ini. Hawa dingin yang menyentuh kulit dan aroma embun pagi sisa hujan semalam menambah kesejukkan saat menghirup udara di balik helm yang kukenakan. Kupercepat laju kendaraan untuk menyusul sebuah bus di depan yang juga menuju perguruan tinggi tempatku menuntut ilmu. Setelah berhasil mengejar bus tersebut sampai pada akhirnya posisi motorku berada di sebelah kiri bus, aku memperlambat laju kendaraan sampai ke dalam keadaan normal. Aku membuka kaca helm yang dikenakan, dan melihat ke dalam bus mencari-cari sesuatu sambil terus fokus pada jalan. Ya, sesuatu itu ada disana. Masih seperti hari-hari biasa yang kulihat dengan cara seperti ini. Wajah halusnya yang putih terlihat merona dengan rambut panjangnya yang hitam terurai. Kesederhanaan penampilannya membuatnya terlihat semakin cantik. Mata indahnya yang berwarna coklat terlihat teduh dan ramah seketika menyapa seseorang yang ia kenal di dalam bus. Bibirnya merekah dalam canda dengan senyumnya yang manis di sela-sela percakapan dengan orang tersebut. Mata coklat itu beralih dan mulai menatap keluar jendela bus sampai pada akhirnya menatapku, namun sebelum itu terjadi aku segera menutup kaca helm dan mempercepat laju kendaraan meninggalkan bus.
Dia adalah Tiara, wanita yang sejak lama aku kagumi saat pertama kali bertemu dengannya dengan cara yang sama saat aku melihatnya di dalam bus tadi. Saat itu adalah  hari pertama aku berada di tingkat 1 saat menuju perguruan tinggi. Dibalik helm yang aku kenakan, aku melihat sosok tersebut dan memulai aktivitasku mengejar bus pada waktu yang sama hanya untuk melihatnya saat aku pun tahu bahwa ia kuliah di perguruan tinggi yang sama denganku. Saat kenaikan tingkat, aku baru tahu bahwa aku sekelas dengannya di tingkat 2, saat itu aku terkejut melihatnya ada di kelas yang sama denganku, namun sampai pada akhirnya aku berada di tingkat 3 ini, belum juga aku bisa memberanikan diri menyapanya sendiri saat berhadapan dengannya, apalagi mengobrol dengannya. Kebetulan, sekelompok dalam mata kuliah pun aku tidak pernah, sehingga tidak ada bahan obrolan yang masuk akal saat bersamanya. Aku bisa dekat dengan teman-teman sekelas yang lain, bisa menjadi sahabat mereka, tapi mengapa tidak bisa untuk Tiara? Aku merasa, di hadapan wanita yang satu ini, aku benar-benar menjadi laki-laki yang payah dan membuatku tidak berkutik. Hanya dia. Padahal sebenarnya, bukan untuk menyombongkan diri, segala yang aku punya cukup mendukungku mempunyai kepercayaan diri untuk mendekati wanita, otak yang cerdas, prestasi di kampus, wajah yang lumayan, motorku yang mewah, selama ini banyak wanita yang mencoba mendekatiku, tapi hanya dia yang tidak dapat aku dekati. Sejak mengenalnya, membuatku masih sendiri sampai saat ini.

***
Hari ini ujian tengah semester, semua mahasiswa datang lebih awal dan terlihat sibuk dengan aktivitas belajar sebelum pengawas ujian masuk ke ruang kelas yang menandakan UTS akan dimulai. 
“Pagi Dion.” sapa Dina, temanku di kelas lain yang ruang ujiannya berdekatan saat aku menuju kelas. Sesekali terlihat teman-temannya di sebelahnya manatapku dan terlihat berbisik sambil tersenyum ke arahku. Ada salah satu temannya yang menanyakan namaku pada Dina sambil berbisik di telinganya. Namun bisikannya jelas terdengar sampai ke telingaku.
“Hai Din..” aku menyahut dan menuju kelas sambil mengelap keringat dengan sapu tangan dan langsung membuangnya di tempat sampah yang berada di luar kelas sebelum masuk ke kelas. Tidak lama aku masuk, Tiara datang bersama dengan Lisa yang juga teman sekelasku. Namun terlihat Tiara kembali keluar kelas.
“Hei.. !! Pagi-pagi sudah melamun. Sudah belajar belum?” tanya Rasta mengagetkanku.
“Ah elu ngagetin gue aja. Ia sudah.” kataku.
Tidak lama kemudian pengawas masuk kelas dengan membawa kertas ujian. Tidak banyak basa basi, pengawas langsung membagikan kertas ujian dan meminta mahasiswa untuk menunjukkan KRS serta meletakkan tas mereka di depan kelas. Terlihat Lisa memanggil Tiara dan Tiara memberikan sebuah pulpen kepada Lisa sambil tersenyum. Tanpa sengaja aku pun tersenyum melihat senyuman itu. Namun tiba-tiba senyuman itu berubah menjadi raut kebingungan dari wajahnya. Dia tidak menulis apapun pada lembar jawaban di atas mejanya sambil melihat-lihat sekeliling. Apa yang dia lakukan? Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil pulpen yang memang sejak tadi aku buat untuk menulis dan menuju kearah Tiara, dengan sengaja aku menjatuhkan pulpen yang tadi kupegang di dekatnya, lalu terus menuju ke depan kelas mencari dimana letak tasku dan mengambil pulpen di dalam tas. Aku langsung menuju tempat duduk dan mulai mengerjakan soal ujian di atas meja tanpa berani melihat kearah Tiara, namun aku pastikan ia sudah menggunakan pulpenku untuk menulis. Sambil mengerjakan soal, aku tersenyum. Bukan karena soal ujiannya yang mudah untuk aku jawab, tapi karena sosok Tiara yang begitu baik untuk meminjamkan pulpennya kepada orang lain padahal ia hanya punya satu pulpen yang akan ia gunakan. Dari hal-hal kecil yang begitu sering seperti ini, menambah kekagumanku terhadapnya. Dapat dibayangkan begitu hangatnya keluarga yang dimilikinya dan beruntungnya kedua orangtuanya melahirkan malaikat cantik sepertinya.
***
            Hari kedua Ujian Tengah Semester berlangsung tanpa Tiara. Saat ujian baru dimulai tadi, ia terlihat tergesa-gesa beranjak dari tempat duduknya dan menuju pengawas berbicara sesuatu, lalu pergi meninggalkan kelas. Apa yang terjadi dengannya hingga membuatnya meninggalkan UTS yang begitu penting? Karena rasa penasaran, aku pun menuju pengawas dan bertanya. Pengawas berkata bahwa Tiara menuju rumah sakit karena ada kepentingan, kebetulan Tiara menyebutkan nama rumah sakitnya kepada pengawas, lalu segera aku menuju parkiran mengambil motor dan langsung menuju rumah sakit yang diberitahukan pengawas tadi. Ada rasa khawatir dan banyak pertanyaan dalam benakku, namun aku tidak menghiraukannya dan memilih untuk segera menuju rumah sakit.
***
            Saat sampai di rumah sakit, aku sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan, rasa kepedulianku membuatku sampai disini tanpa tahu untuk apa aku disini, siapa yang dirawat, lantai berapa, ruang kamar berapa.. Namun saat aku berpikir, aku melihat sosok Tiara memegang plastik yang berisi obat menuju suatu kamar. Aku mengikutinya, tentunya tanpa ia tahu. Aku mengintip ke dalam, melihat ia meminumkan obat kepada anak kecil. Ada perasaan lega saat aku sudah mengetahui tujuan Tiara ke rumah sakit karena adiknya dirawat. Saat aku ingin membalikkan badan, aku hampir saja menabrak wanita paruh baya yang ingin menuju kamar tempat dimana adik Tiara dirawat.
            “Tidak masuk dek? Kamu temannya Mutiara?” kata wanita paruh baya itu kepadaku.
“Hmm.. Ti.. Tidak Bu..” seketika aku bingung ingin menjawab apa, “Saya.. saya hanya ingin tahu Bu, adiknya Tiara sakit apa ya? Maaf, Ibu, Ibunya Tiara ya?” tanyaku gugup.
            “Ohh kamu teman kampusnya Tiara ya?” tanyanya. Aku pun mengangguk dan ia melanjutkan ucapannya. “Saya bukan Ibunya, dan anak kecil itu bukan adiknya.”
            Aku semakin bingung, lalu siapa anak kecil yang dirawat itu hingga membuat Tiara meninggalkan ujian sepenting UTS?
“Saya walinya. Dan anak kecil itu anak didik saya di panti asuhan. Tiara sudah menganggap semua anak-anak di panti asuhan seperti saudara kandungnya sendiri karena ia pun tinggal disana.” kata wanita paruh baya itu.
 Aku pun terkejut mendengar penjelasan wanita itu. Tiara tinggal di panti asuhan? Sejak kapan? Wanita paruh baya itu pun melanjutkan ceritanya.
              “Tiara sudah tidak mempunyai kedua orangtua, kedua orangtuanya meninggal sejak kecil, dan saya sebagai teman dekat kedua orangtuanya memutuskan untuk tinggal bersamanya, menjaga dan merawatnya di rumah saya yang juga merupakan tempat anak-anak didik saya di panti asuhan.”
Aku seketika terkejut mendengar penjelasan dari wanita paruh baya itu yang ternyata
adalah wali dari Tiara. Hal sepenting ini tentang Tiara tidak pernah aku ketahui. Aku hanya tenggelam dalam perasaan yang membuatku tidak memahami seorang Tiara lebih dalam. Aku hanya menyenangkan hatiku dengan melihat senyuman di bibirnya tanpa berpikir untuk menimbulkan senyuman itu untuknya, aku hanya mendamaikan perasaanku dengan rasa bahagia saat melihat tawanya tanpa berpikir untuk memberikan canda yang membuatnya tertawa. Aku hanya mengaguminya tanpa memahaminya.
            “Dek.. Kamu mau masuk? Ibu masuk dulu ya.” wanita itu berkata sambil menuju ke dalam kamar. Aku hanya terdiam di tempat dan mulai melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit dalam perasaan tak menentu.
***
            Hari ketiga UTS pun tidak ada Tiara, teman-teman mulai menanyakan keberadaannya. Aku berpikir untuk segera menuju rumah sakit, untuk menanyakannya. Saat aku keluar kelas, aku melihat wanita paruh baya yang bertemu denganku di rumah sakit itu celingak celinguk mencari sesuatu. Aku segera menghampirinya. Benar saja ternyata dia mencariku dan memberikan kabar bahwa Tiara mengalami kecelakaan ringan dan sekarang di rawat  di panti asuhannya. Aku segera kesana bersama wanita itu. Dan sesampainya disana, benar saja Tiara terbaring lemah di kamarnya dengan selang infuse menggantung di tangannya. Perasaanku sedih melihatnya terbaring lemah, Tiara yang selalu semangat dan ceria, yang biasanya aku melihatnya dari kejauhan, kini berada di dekatku, namun sayangnya saat ini aku hanya bisa melihatnya terbaring lemah. Aku melihat ke sekeliling kamar, tempat yang sejuk dan sederhana, namun penuh kehangatan. Aku merasa nyaman berada disini, berada di dekat Tiara yang masih tertidur. Di sebelahnya terdapat sebuah kotak, aku pernah melihatnya memasukkan sesuatu ke dalam kotak itu saat ia berada di dalam bus. Aku mengambilnya, lalu membuka kotak tersebut untuk memenuhi rasa keingintahuanku. Seketika aku terkejut melihat isi di dalamnya, pulpenku yang sengaja aku jatuhkan di dekatnya saat ia membutuhkan pulpen, ada disana, dan semua hal yang sengaja ingin aku berikan untuknya tanpa sepengetahuannya, ada di dalam kotak itu. Satu hal yang paling membuatku terkejut, sapu tangan yang selalu aku buang setelah aku memakainya, ada disana. Sejak kapan Tiara menyimpan semua ini? Dan untuk apa Tiara menyimpan semua ini? Lalu di dalam kotak tersebut juga terdapat selembar kertas yang dilipat-lipat kecil yang ada di dalam botol, aku pun membuka botol mungil tersebut dan membuka kertas yang terlipat-lipat itu, haru yang aku rasakan semakin dalam saat aku membaca isi kertas tersebut.

“Aku tidak bisa mendapatkan cinta seorang Ibu kepada anaknya, atau seorang ayah kepada anaknya, tapi aku merasakan kasih sayang saat aku bersama ‘mereka’ disini. Aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dari kedua orangtuaku, tapi aku dapat merasakan kebahagiaan kedua orangtuaku ‘disana’, dan itu cukup membuatku mendapatkan apa yang aku inginkan. Tetapi, aku mendapatkan suatu pelengkap kebahagiaan dalam hidupku saat aku mendapatkan apa yang aku butuhkan darinya…

Terima kasih.. Dion..  “

            Saat itu pula aku tak sadar telah menggenggam tangannya dan melihatnya menatapku dengan……. Senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar